MASIH ingat kasus Tugu Tani, Jakarta, 22 Januari 2012? Ya. Sembilan pejalan kaki tewas diseruduk mobil. Tiga orang lainnya luka parah. Miris.
Hampir di seantero kota Jakarta, pejalan kaki menjadi puritan di jalan raya. Masyarakat kelas tiga, setelah pesepeda dan pemotor. Raja jalanannya masih si roda empat atau lebih. Siapa yang peduli terhadap pejalan kaki?
Trotoar di kawasan Jakarta dinilai buruk, mulai dari kondisi trotoar yang retak dan tidak rata. Ditambah lagi dengan hilangnya penutup selokan, kabel listrik yang terbuka, serta pengendara motor yang agresif menggunakan trotoar untuk menghindari kemacetan atau bahkan sebagai tempat parkir.
Dilansir The New York Times, Sabtu (26/8/2017), dalam sebuah studi oleh para periset di Stanford University, Indonesia yang merupakan negara terpadat penduduk keempat di dunia, berada di posisi terakhir dari 46 negara dalam hal jumlah langkah jalan kaki yang dilakukan warganya, yakni hanya rata-rata 3.513 langkah per hari.
Hal ini jauh tertinggal dibanding negara lain di dunia. Sebagai perbandingan, Hong Kong berada di urutan pertama dengan jumlah 6.880 langkah per hari dan China di urutan kedua dengan 6.189 langkah per hari. Riset tersebut diteliti menggunakan perangkat smartphone dan jam tangan dengan melacak 717.000 orang di 111 negara dengan memantau 68 juta hari aktivitas.
Seorang warga, Dita Wahyunita yang juga seorang analisis pemasaran mengatakan dirinya tidak nyaman berjalan di trotoar Jakarta.
“Saya tidak merasa aman berjalan karena beberapa alasan. Trotoar di sini mengerikan. Di negara lain, mereka memiliki trotoar lebar hanya untuk pejalan kaki,” ujar Dita yang berkantor di Jakarta Pusat.
Menurut data pemerintah daerah, hanya sekitar 7% dari total 4.500 mil di Ibukota yang memiliki trotoar. Seorang kandidat doktor Jerman bidang ilmu komputer di Stanford, Tim Althoff mengatakan Jakarta membutuhkan trotoar lebih banyak untuk pejalan kaki.
“Kota Jakarta membutuhkan banyak kegiatan untuk aktif. Trotoar buruk, sepeda motor di trotoar. Sudah jelas apa yang bisa dilakukan agar orang berjalan lebih banyak. Tidak mengejutkan jika orang tidak bisa berjalan banyak,” kata Althoff.
Menurut Althoff kualitas udara di Jakarta juga terbilang buruk. Hal ini salah satu alasan mengapa masyarakat memilih menggunakan taksi, mobil, atau sepeda motor untuk menempuh jarak 200 meter.
Trotoar Nyaman
Budaya jalan kaki di masyarakat kota Jakarta masih minim. Banyak trotoar jalan yang sepi peminat. Sampai-sampai akhirnya dipakai untuk berjualan atau tempat parkir. Kebiasaan jalan kaki mestinya menjadi alternatif masyarakat kota. Selain hemat, juga ramah lingkungan. Asal saja, trotoar jalannya juga aman, nyaman, dan selamat.
Pria yang mengaku kerap berjalan kaki itu menganggap pentingnya menyediakan trotoar yang nyaman. Salah satu jurus yang diusulkan adalah melibatkan kalangan swasta pengelola gedung pencakar langit di Jakarta untuk berpartisipasi. ”Misalnya, mereka merawat trotoar yang ada persis di depan gedung mereka, dibikin nyaman dan indah,” tutur Glenn. Dia merujuk pada indah dan nyamannya trotoar jalan di kota Singapura. Bersih dan nyaman untuk jalan kaki.
Jangankan ramah untuk pejalan kaki biasa, saat ini trotoar di berbagi kota di Indonesia masih belum teratur dan sangat membahayakan penyandang disabilitas. Selain rusak, banyak guiding block atau ubin pemandu bagi penyandang disabilitas yang sudah luntur warnanya, rusak, serta terhalang hiasan di atas trotoar. Sehingga hal ini akan menyulitkan para penyandang disabilitas yang akan menggunakan fasilitas tersebut.
Saat ini beberapa kota di Indonesia mulai membangun infrastruktur transportasi yang memberi perhatian lebih pada pejalan kaki, pesepeda, dan pengguna transportasi publik. Hal ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi yang menyebabkan macet, polusi udara, dan emisi gas rumah kaca tinggi.
Comments